CERPEN: SOPRAN

SOPRAN…

Rindu teramat sangat menyergap teringat kembali ketika dia berlari merangkulku sambil menggosok matanya yang merah menahan tangis “Mereka akan membawaku pergi!” Akhirnya tumpah juga air matanya. Tidak ada yang kulakukan saat itu, hanya diam mendengar tangisnya yang dengan susah payah ditahan. “Kau tahu aku pintar kan? Aku akan mengingat jalan untuk kembali lagi kesini, Aku akan menemuimu saat itu!” Mata bulat cokelatnya berbinar kala membuat janji dengan suara soprannya untukku dan saat dia berpaling aku baru sadar akan kehilangan bagian dari kebiasaanku untuk waktu yang lama.

Mungkin Minho tak sejenius yang kami sangka, Dia tidak pernah kembali setelah 9 tahun berlalu. Ironisnya sampai sekarang aku masih menunggu dia memenuhi janjinya padaku, membayangkannya tumbuh dewasa sepertiku disuatu tempat, begitu pandai, juga tampan mempesona, menjadi pianis dengan suara luar biasa indah, Meskipun bukan sopran lagi. Aku akan tetap menyukainya.

Kalimat terakhir itulah alasannya.

Entah sengaja atau tidak akhirnya aku parkir kaki disini. “Pagi Harin yang membosankan!,” Siapa lagi kalau bukan Tiara si pemilik café yang seenaknya menyapaku seperti itu. “Beneran nggak ada acara liburan sama sekali nih?” Dengan senyuman mengejek dia langsung menghambur ke meja yang kupilih. Melihat wajahku yang kian masam, si pemilik café yang tak lain sahabatku ini pun tertawa puas dan menyuruh anak buahnya menghidangkan Hot Chocolate untukku.

Gemuruh tepuk tangan mengalihkan semua pikiranku. Sudah ada seorang pemuda yang bersiap menekan tuts piano di atas panggung, kaos abu-abu yang ditutup dengan blazer putih cocok dengan warna rambutnya yang dicat Blonde. Semua terkagum-kagum setelah tangannya yang putih menekan tuts piano, It Will Rain-nya Bruno Mars dinyanyikan tanpa cela.

“Sejak beberapa hari yang lalu dia sering datang kesini dan tidak kusangka selain tampan dia juga pintar bernyanyi”, Tanpa kuminta Tiara mengenalkanku secara tak resmi pada pemuda yang sudah membiusnya. Hingga…“Astaga! Jangan-jangan…”, Dia tidak meneruskan dan membuatku kebingungan, “Dia bisa bermain piano dan suaranya… kau tidak menyadari sesuatu?” Aku langsung menangkap arah pembicaraan sahabatku ini. Apa hanya karena dia pandai memainkan alat music dan bernyanyi? Sehingga kemungkinan besar dia wujud Minho-ku yang telah dewasa?

Sekali lagi gemuruh tepuk tangan disambung dengan teriakan-teriakan kagum mengalihkan pikiran juga perhatianku. Pemuda yang baru turun dari panggung tersebut lalu menghambur pada meja terdepan melakukan hi five dengan seorang pemuda lainnya yang duduk memunggungiku.

“Kalau yang satunya itu nggak mungkin!,” ujar Tiara yang ku respon penuh tanya, “Dia bisu!”. Dua kata terakhir itu diucapkannya dengan berbisik. Sekenanya kulayangkan kembali pandanganku untuk melihat lebih jelas wajah mereka dan tiba-tiba seperti tahu sedang kami bicarakan dia melihat kearah kami, deg…

Pipiku terasa panas, Aku yakin kedua pipiku pasti sudah merah sekarang. Rasanya berjuta kupu-kupu beterbangan didalam perutku ketika mata kami bertemu dan lekuk wajahnya tertangkap jelas sekarang sekejap lalu berpaling. Wajahnya sudah terpindai sempurna diotakku, Mata cokelat bulat itu, bibir plum itu bagaimana bisa tidak asing lagi? Ya Tuhan, kenapa aku menjadi sangat berharap begini? Mungkinkah dia Minho? kalau memang dia Minho tidak ingatkah dia padaku? Tidakkah dia berusaha menemuiku? Lupakah dia kemana jalan yang membawanya ke rumahku? Hatiku bergetar ketika tanpa sengaja mata kami lagi-lagi bertemu. Dan yang membuatku juga Tiara terkejut adalah pemuda tampan berambut Blonde tersebut akhirnya menghampiri meja kami meninggalkan temannya yang asyik dengan smartphonenya,

“Terima kasih sudah memperkenankan saya main tadi,” bahkan bicara saja sangat merdu.

“Saya yang harusnya berterima kasih karena anda para pengunjung café ini terhibur,” Aku menunduk dalam-dalam karena matanya menatapku lama. “Bolehkah saya tahu siapa nama anda?” kali ini pertanyaan Tiara membuatku deg-degan.

“Minho!” nama itu entah mengapa membuatku lemas seketika. Mulut Tiara gemetar sedang mata kami terus berpandangan tak percaya, tak bisa berbuat apapun hingga Minho itu meninggalkan café bersama temannya dengan sopan setelah bilang akan kembali berkunjung.

“Ya Tuhan, apa ini sungguhan? Padahal aku tidak serius menyangka dia Minho tetapi apa yang kudengar tadi… Minho? Apa dia Minho-mu? ” Tiara masih sangat terkejut.

“Dia tidak mengenaliku” Suaraku datar lebih terdengar seperti bergumam.

“Harin, ini sudah 9 tahun! Kalaupun dia benar Minho, bagaimana dia bisa mengenalimu?” Tiara benar tetapi mengapa rasanya hanya aku yang mengharapkannya, hanya aku yang menunggunya. Aku yang salah, kenapa begitu bodoh mempercayai kata-kata seorang bocah, bagaimana bisa dengan bodohnya mengharapkan sesuatu yang terlampau lama? Ya tuhan dadaku sesak sekali, Tiara mengelus dan menepuk punggungku pelan.

***

Hampir sore, aku berdiri didepan taman bermain yang penuh dengan gelak tawa bocah-bocah tanpa atau berikut awasan orang tuanya. Disana, diayunan itu kami pernah berayun dan terjerembab. Aku menangis hebat dan Minho harus kena marah padahal itu sama sekali bukan salahnya, tidak hanya pintar dia juga terkenal sangat baik. Duk! Aduh! lumayan sakit dan lumayan ampuh membuyarkan kenanganku. Bagaimana bisa bola sepak mendarat dimukaku tiba-tiba? pemuda itu? pemuda tidak bisa bicara itu? pemuda temannya Minho itu sedang mendekat kearahku dengan tatapan sinis. Aku kira dia yang melempar atau menendang bola tadi, apakah dia ingin minta maaf dengan tampang angkuh seperti itu? Sekarang dia tepat didepanku, Dia… tinggi! Bahkan lebih tinggi dari Minho. Aroma tubuhnya menyeruak masuk rongga hidungku dan membuat…

“Kau tidak apa-apa?!” Pemuda tampan dengan rambut Blonde, Ah! Maksudku Minho sedang tergesa-gesa menghampiriku. Dia ingat tempat ini? Kubuyarkan pikiranku secepatnya lalu Aku menggeleng sambil tersenyum tipis memandangnya. Pemuda tinggi didepan tubuhku tiba-tiba merunduk dan memungut bola yang tepat berada didepan kakiku. Ah, ternyata alasan dia adalah ini? Bukan untuk minta maaf. Kuperhatikan punggung bidangnya yang seketika bangkit dan kedua matanya kembali menyerangku.

“Kau benar tidak apa-apa?” Minho sudah berada disisi sahabatnya yang seperti patung. Aku melihat sebelah tangannya yang bebas merogoh saku kemejanya dan menyodorkan saputangan warna baby blue, entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang ketika aku menyambut sapu tangan tersebut dan mulai kugunakan untuk membersihkan wajahku. “Maafkan keponakanku, dia tidak sengaja menendang bola kearahmu”. Sambung Minho sambil menunjuk dua bocah yang memasang wajah ketakutan, Aku mendekati keduanya dengan senyum terbaikku diikuti kedua guardiannya.

“Jadi kalian pelakunya?,” Suaraku lebih terdengar seperti rayuan sehingga membuat dua bocah yang tadinya ketakutan akhirnya menyunggingkan senyum manisnya.

“Maafkan kami!” yang laki-laki berinisiatif.

“Aku akan memaafkan kalian tetapi dengan satu syarat,” keduanya tampak bingung,

“Syaratnya?,” suara yang perempuan mengingatkanku pada suara Si Sopranku…dulu,

“Nyanyikan sebuah lagu untukku”. Keduanya tersenyum saling pandang seperti langsung tahu apa yang harus mereka nyanyikan tanpa bertanya satu sama lain. Kemudian…

Somewhere over the rainbow way up high, suara keduanya menarikku kewaktu dimana Aku dan Minho sering menyanyikannya lagu yang sama di sebuah show room ‘Rumah Piano’ milik ayahku. Suara kami dan permainan pianonya di Rumah Piano mengundang banyak pengunjung kala itu, Apa sekarang dia masih ingat?

Where troubles melt like lemon drops, away above the chimney tops. That’s where you’ll find me”. Tanpa sadar aku ikut bernyanyi bersama dua bocah yang matanya bersinar memandangku seperti sedang kagum. Minho terlihat terkejut mendengar suaraku, sedangkan temannya yang angkuh telah pergi entah kapan.

***

Kenyataannya Minho sama sekali tak menyadari apapun dengan lagu tersebut, bagaimana manusia bisa kehilangan ingatannya sampai 100%? Aku memikirkan sejuta kemungkinan disepanjang perjalanan hingga tak terasa tubuhku sudah berada diambang pintu kediamanku yang tidak biasanya terbuka.

“Harin! Benarkah ini Harin kami? Wah dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik” Kupandangi teliti wajah perempuan lalu laki-laki yang berada disampingnya, Ya Tuhan!

“Bibi? Paman?,” orang tua Minho, tentu saja Aku bahagia ada bagian dari Minho yang masih mengingatku.

“Bagaimana pertemuan kalian? Minho bilang dia terkejut kamu tumbuh menjadi gadis yang luar biasa cantik,” Ujar Bibi tanpa sadar menjawab pertanyaanku selama seharian ini bahwa Minho mengingatku juga tetapi kenapa…

“Kenapa dia tidak pernah memberi kabar atau…” Pertanyaan ini keluar begitu saja tanpa seijinku, kulihat raut wajah semua orang menjadi berubah sedih dan putus asa.

“Ada apa dengannya?” Paman terkejut membaca pesan dari telephone selularnya,

“Minho?” Tebakanku di iyakan, “Bisa saya pinjam” pintaku tak lengkap namun paman langsung memberikan ponselnya kepadaku. Minho akan kembali ke Australia lebih dulu, itu yang kutangkap dari layar ponsel. Aku langsung berlari keluar sambil mencoba membalas pesan tersebut dengan sebuah panggilan telephone, nada tunggu membuat ingatanku kembali mencerna perkataan bibi.

“Kecelakaan saat menuju bandara, Minho meminta kami untuk membawanya kembali padamu sebelum dia ikut kompetisi di Perth. Leher Minho patah dan dia tidak bisa bicara lagi,” Air mataku meluncur sebelum Bibi menyelesaikan ceritanya, Aku mulai mengerti. “Saat itu menurutnya semua sudah hancur!” pandanganku pedih tak jelas, tapi pikiranku jelas meneriaki nama Minho yang tidak mampu meneriakkan namaku lagi seperti dulu. Dia masih mengingatku, bahkan dia berusaha menemuiku. tetapi aku bahkan ragu hanya karena dia bisu dan bertemu teman yang memiliki nama serupa dengannya.

“Bisa kita bertemu sebentar?” ujarku setelah orang diseberang telephone menerima panggilanku, tidak ada jawaban darinya. Tentu saja apa yang kuharapkan dengan menelephonenya seperti ini? Bodoh! Umpatku pada diriku sendiri tetapi samar-samar aku mendengar sesuatu berderit berulang-ulang, suara itu tak asing lagi bagiku. Kututup telephonenya dan berlari kencang menuju tempat suara berderit yang selalu ku dengar ketika melewati taman bermain, tempat ayunan yang sering membuatku terjerembab dulu.

Sejak awal seharusnya aku tahu ketika berjuta kupu-kupu terasa terbang diperutku setelah mataku bertemu dengan mata bulat cokelat dan bibir plumnya, seharusnya sejak awal aku sadar ketika aroma tubuhnya menyeruak masuk rongga hidungku dan membuat jantungku menggila dibuatnya, seharusnya tidak ada lagi keraguan ketika sebelah tangannya yang bebas merogoh saku kemejanya dan menyodorkan saputangan warna baby bluenya padaku yang saat itu sukses memunculkan perasaan yang dialami setiap gadis yang kasmaran. Ya tuhan… samar-samar aku melihat pemuda beranjak dari ayunan dan masuk sebuah Taksi.

“MINHO!!!”, teriakanku memekikkan telingaku sendiri, “MINHO TUNGGU!” Aku kembali berlari dengan sekuat-kuatnya mengejar Taksi yang membawa Minho didalamnya, namun usahaku sia-sia taksi itu sudah menghilang ditikungan depan meninggalkanku yang menangisinya sambil tersungkur lelah dan putus asa ditimpa sinar lampu taman yang terang. Aku membenamkan wajahku di kedua lututku sambil mendekapnya dan menangis keras-keras cukup lama, sampai aroma yang pernah membuat jantungku menggila menyeruak dironga hidungku lagi. Aku mendapati kaki jenjang pemuda dengan celana putih selututnya perlahan membungkuk hingga pandangannya yang lembut tak lagi sinis sejajar dengan mataku yang terus menerus menyemburkan buliran air mata, kini kedua tangannya yang bebas mencari sesuatu dari saku kemeja denim birunya yang dibiarkan terbuka menutupi kaos putih berpattern garis-garis tetapi sepertinya apa yang dicarinya ada ditanganku. Kuacungkan sapu tangan baby bluenya dan seketika membuat senyumnya yang dulu kembali untukku, senyum si sopran Minho ku. Dia meraih sapu tangan tersebut dari tanganku dan mengusapnya halus dikedua pipiku yang basah total, matanya yang sangat kukenal itu kembali menatapku sendu membuatku kembali menangis terisak dan memukul dadanya yang bidang dengan kuat sambil merapal sumpah serapah entah untuk siapa. Perlahan pukulanku didadanya melemah dan berganti cengkeraman dikedua sisi kemejanya kemudian rongga hidungku kembali dipenuhi aroma tubuh Minho yang maskulin ketika tubuhnya yang kokoh perlahan mendekapku dan membenamkan kepalaku didadanya. Aku mendengar dengan jelas jantungnya yang berdetak keras dan samar-samar mendengar suara sopran yang terbawa angin ketelingaku Terima kasih sudah menungguku, Aku sangat merindukanmu dari bibir plump Minho yang jelas-jelas tak kudengar.

“Akhirnya kau memenuhi jannjimu padaku” kutegakkan tubuhku dan menatapnya lembut “Kau benar-benar kembali, meskipun bukan sopran lagi, Aku tetap menyukaimu”. Minho kembali memelukku lebih kuat dan lagi-lagi Aku mendengar dengan jelas jantungnya yang berdetak keras bahkan lebih keras dan samar-samar mendengar suara sopran yang terbawa angin ketelingaku Aku tidak akan pergi lagi, ini janji juga! dari bibir plump Minho yang jelas-jelas tak kudengar.

2 respons untuk ‘CERPEN: SOPRAN

Tinggalkan komentar